Sony Ericsson: Kisah Perceraian Raksasa Teknologi
Sony Ericsson: Kisah Perceraian Raksasa Teknologi yang Menyisakan Kenangan
![]() |
| Logo Liquid Energy menjadi simbol era kejayaan Sony Ericsson sebelum nama itu dihapus dari industri. |
Masih ingat nggak sih rasanya jadi orang paling keren di sekolah gara-gara punya HP dengan logo bola hijau misterius di belakangnya? Atau kenangan campur aduk antara bangga dan frustasi karena joystick analog di tengah keypad yang selalu macet pas lagi asik main game?
Sebelum iPhone mengubah segalanya dan Samsung mendominasi pasar, dunia ponsel pernah dikuasai oleh hasil kolaborasi paling ambisius dalam sejarah teknologi konsumer. Sony Ericsson—perpaduan antara ketangguhan teknis Swedia dan keindahan desain Jepang—melahirkan seri Walkman yang bikin kita semua jadi DJ dadakan dan seri Cyber-shot yang bikin kita merasa jadi fotografer profesional.
Tapi kenapa raksasa sekeren ini bisa punah? Kenapa nama legendaris ini harus dihapus dari sejarah dan menyisakan Sony sendirian? Mari kita bongkar kisah cinta dan tragedi perceraian Sony Ericsson.
Kelahiran dari Kecelakaan: Pernikahan Dua Raksasa yang Lagi Sakit
Banyak yang mengira Sony Ericsson itu satu perusahaan sejak awal. Salah besar. Mereka adalah hasil kawin silang dua raksasa teknologi yang sedang menghadapi krisis masing-masing.
Di pojok kiri ada Ericsson dari Swedia—raja infrastruktur telekomunikasi. HP mereka canggih dengan sinyal kuat, tapi desainnya kaku banget. Bayangkan batu bata tanpa jiwa seni. Di pojok kanan ada Sony dari Jepang—rajanya elektronik konsumer dengan Walkman, TV, dan kamera. Desainnya cantik memukau, tapi jualan HP-nya mandek.
Pemicu pernikahan mereka adalah sebuah musibah besar. Tahun 2000, pabrik pemasok chip utama Ericsson di New Mexico terbakar hebat. Produksi Ericsson lumpuh total dan kerugiannya fantastis. Ericsson butuh penyelamat cepat.
Di sisi lain, Sony butuh teknologi sinyal yang mumpuni untuk bersaing di pasar ponsel yang mulai berkembang pesat. Akhirnya pada tahun 2001 di London, mereka bersalaman. Pembagian saham 50:50, dengan satu tujuan: menggabungkan otak jenius Swedia dengan wajah cantik Jepang.
![]() |
| Sony dan Ericsson mengumumkan pernikahan strategis 50:50 yang mengubah industri ponsel. |
Era Keemasan: Ketika HP Bukan Sekadar Alat Nelpon
Filosofi Sony Ericsson berbeda total dari Nokia atau Siemens waktu itu. Mereka bilang tegas: "HP itu bukan cuma buat nelpon, HP itu alat hiburan. HP itu lifestyle." Dan mereka membuktikannya dengan menciptakan kasta HP yang sangat jelas dan bikin ngiler.
Seri Cyber-shot: Revolusi Fotografi Mobile
Siapa di sini yang pernah pegang Sony Ericsson K750i? Silakan berdiri dan hormat. HP ini dirilis tahun 2005 dengan desain hitam maskulin dan fitur yang waktu itu terasa seperti teknologi alien.
Ada tutup lensa geser di belakangnya—begitu digeser, ceklek, mode kamera langsung aktif. Hasil fotonya 2 megapiksel dengan autofocus. Tunggu dulu, fitur autofocus di HP tahun 2005 itu setara dengan memiliki mesin waktu. HP lain masih menghasilkan gambar buram kayak penampakan hantu, sementara K750i sudah tajam banget.
Terus muncul kakaknya: K800i. Ini lebih gila lagi dengan xenon flash—bukan sekadar lampu LED yang nyala terus mati, tapi lampu kilat seperti kamera digital profesional. Jepret foto di kegelapan total? Terang benderang. Branding Cyber-shot benar-benar bukan gimmick marketing kosong.
Seri Walkman: Soundtrack Generasi
Seri W adalah favorit anak gaul sejati. Dimulai dari W800i dengan warna putih-orange yang ikonik dan tombol khusus logo Walkman. Colok headset dengan konektor sisir aneh itu, nyalakan fitur Megabass, boom—dunia serasa milik sendiri.
Suaranya jernih dan nendang dengan UI pemutar musik yang keren abis. Bisa ganti lagu dengan cara menggoyangkan HP (shake control) di seri W910i. Nokia punya seri XpressMusic, tapi jujur aja, secara branding dan kualitas audio, Walkman punya aura yang jauh lebih premium.
Memegang HP Walkman berarti kamu ngerti musik. Itu statement.
![]() |
| W800i bukan sekadar HP, tapi simbol status anak gaul pencinta musik. |
Penyakit Legendaris: Joystick yang Bikin Emosi
Tapi ada satu masalah klasik yang dialami hampir semua pengguna Sony Ericsson era ini: joystick. Tombol navigasi analog kecil di tengah keypad itu memang enak banget dipakai awal-awal—main game jadi lincah. Tapi setelah 6 bulan? Macet, keras, atau malah copot.
Siapa yang pernah niup-niup joystick pakai tenaga dalam biar bisa dipencet lagi? Atau bawa ke tukang servis cuma buat ganti trackball yang harganya separo uang jajan seminggu?
Meskipun joystick sering bikin emosi, kita tetap cinta karena Sony Ericsson memberikan pengalaman yang nggak dikasih brand lain. Sayangnya, di balik pesta pora kamera dan musik ini, ada awan gelap yang mulai mengumpul.
Titik Balik 2007: Ketika iPhone Mengubah Segalanya
Tahun 2007 menjadi titik balik paling brutal dalam sejarah ponsel. Saat Steve Jobs naik ke panggung dan memperkenalkan iPhone dengan layar sentuh kapasitif yang mulus, para petinggi Sony Ericsson di London dan Tokyo masih memegang teguh keyakinan lama mereka.
Mereka berpikir konsumen tidak akan pernah mau meninggalkan tombol fisik. Mereka percaya orang membeli HP hanya untuk dua alasan: kamera bagus atau pemutar musik hebat. Mereka lupa satu hal vital yang dibawa iPhone: internet di saku celana.
Fragmentasi Sistem Operasi yang Mematikan
Sony Ericsson sebenarnya punya lini smartphone sendiri—seri P (P800, P900, P990). HP tebal dengan layar sentuh yang harus dicolok pakai stylus dan keypad yang bisa dibuka-tutup. Canggih untuk pebisnis, tapi sangat mengintimidasi bagi pengguna biasa.
Sistem operasinya menggunakan Symbian UIQ. Di sinilah letak bencana pertama: fragmentasi. Meskipun sama-sama Symbian seperti Nokia, versi UIQ milik Sony Ericsson berbeda total dengan S60 milik Nokia. Aplikasi Nokia tidak bisa jalan di Sony Ericsson, begitu juga sebaliknya.
Para developer merasa pusing—daripada ribet membuat aplikasi khusus untuk UIQ yang pasarnya kecil, mereka lebih memilih membuat untuk Nokia atau malah tidak sama sekali. Situasi ini mirip dengan strategi multi-platform yang membingungkan seperti yang dialami Samsung Tizen—ketika fragmentasi menjadi musuh terbesar ekosistem.
![]() |
| Xperia X1 menawarkan hardware indah dengan software yang belum siap. |
Strategi Gado-gado yang Setengah Hati
Kepanikan mulai melanda markas pusat ketika penjualan iPhone meledak dan Android diperkenalkan Google tahun 2008. Sony Ericsson sadar Symbian UIQ mereka sudah tua dan lambat. Respon mereka? Strategi gado-gado—mencoba semuanya sekaligus dengan setengah hati.
Tahun 2008, mereka meluncurkan Sony Ericsson Xperia X1 dengan Windows Mobile. Desainnya luar biasa indah dengan mekanisme slide melengkung (arc slider) yang premium, terbuat dari logam dengan keyboard QWERTY fisik yang nyaman.
Tapi Xperia X1 adalah hardware cantik dengan jiwa tersiksa. Pengguna mengeluh antarmukanya sering macet, transisi menu patah-patah. HP seharga selangit terasa seperti komputer kantor yang lemot.
Tahun 2009, mereka mencoba lagi dengan Sony Ericsson Satio menggunakan Symbian. Monster spesifikasi di atas kertas: kamera 12 megapiksel (angka gila tahun 2009), layar besar, xenon flash. Tapi lagi-lagi sistem operasi Symbian di dalamnya terasa sangat kuno dibanding iOS atau Android. Layarnya masih resistif—harus ditekan pakai kuku. Satio membuktikan bahwa hardware dewa tidak ada gunanya kalau software-nya sampah.
Android: Tobat yang Terlambat
Barulah tahun 2010, Sony Ericsson akhirnya bertobat. Mereka menyadari Windows Mobile adalah jalan buntu dan Symbian adalah kapal yang akan karam. Mereka memutuskan merangkul Android.
Lahirlah Sony Ericsson Xperia X10 dengan desain sangat ikonik—konsep "human curvature" atau lengkungan manusia di bagian belakang yang pas di genggaman. Layarnya 4 inci, raksasa pada zamannya. Sony Ericsson juga menanamkan UI buatan sendiri bernama Timescape dan Mediascape dengan tampilan cantik bukan main—kartu-kartu transparan melayang-layang.
Secara visual, Xperia X10 jauh lebih keren dari Samsung atau HTC saat itu. Tapi Sony Ericsson melakukan dosa besar yang tidak bisa dimaafkan para geek teknologi.
Dosa Besar: Android Jadul dan Tanpa Multitouch
Saat dirilis, Xperia X10 masih menggunakan Android 1.6 Donut. Padahal dunia sudah menikmati Android 2.1 Eclair yang jauh lebih canggih. Akibatnya fatal—Xperia X10 tidak punya fitur-fitur standar Android baru.
Yang paling parah: karena keterbatasan hardware dan driver yang mereka pilih, layar Xperia X10 awal tidak mendukung multitouch. Bayangkan—HP Android mahal, flagship, desain ganteng, tapi tidak bisa pinch-to-zoom saat lihat foto atau browsing. Pengguna harus menekan tombol plus-minus di layar.
Ini menjadi bahan tertawaan dunia teknologi. Persaingan di industri smartphone semakin mirip dengan perang teknologi tingkat tinggi yang melibatkan keamanan dan inovasi—siapa yang lambat, siapa yang kalah.
![]() |
| Desain revolusioner Xperia X10 sayangnya terhambat software yang ketinggalan zaman. |
Samsung Blitzkrieg: Serangan Kilat dari Korea
Sementara Sony Ericsson sibuk memperbaiki bug dan mengejar ketertinggalan update software, Samsung datang dengan strategi blitzkrieg—serangan kilat.
Samsung meluncurkan Galaxy S dengan layar Super AMOLED yang gonjreng, prosesor Hummingbird yang ngebut, dan software Android terbaru yang didukung penuh Google. Samsung tidak peduli soal desain artistik yang rumit—mereka fokus pada performa dan ketersediaan barang.
Samsung membanjiri pasar. Mereka punya HP Android dari harga termurah sampai termahal. Mereka update software dengan cepat. Sony Ericsson? Bergerak lambat seperti siput.
Setiap kali Google merilis Android versi baru, Sony Ericsson butuh waktu berbulan-bulan bahkan hampir setahun untuk menyesuaikan antarmuka Timescape dan Mediascape mereka yang berat. Pengguna Xperia merasa dianak-tirikan.
"Kenapa HP Samsung teman saya sudah Android Froyo, tapi saya masih Donut?" keluh mereka di forum-forum.
Citra Sony Ericsson berubah drastis—dari raja inovasi musik dan kamera menjadi HP cantik yang lemot dan telat update. Penjualan terjun bebas. Kerugian menumpuk triliunan rupiah.
Perceraian yang Tak Terelakkan
Di balik layar, ketegangan antara manajemen Sony Jepang dan Ericsson Swedia memuncak. Visi mereka tidak lagi sejalan.
Ericsson, yang fokus utamanya jualan tower sinyal dan infrastruktur jaringan, merasa bisnis HP konsumen cuma jadi beban yang membakar uang. Mereka ingin keluar—tidak mau lagi pusing memikirkan desain casing atau jualan ke konsumen retail.
Sementara Sony masih punya ego besar. Mereka punya TV Bravia, PlayStation, kamera Alpha. HP harusnya menjadi pusat ekosistem. Sony tidak mau menyerah.
Situasi ini tidak bisa diteruskan—kapal dengan dua nahkoda yang ingin belok ke arah berbeda pasti akan tenggelam.
Kesepakatan Bersejarah: 1,05 Miliar Euro
Pada Oktober 2011, kesepakatan bersejarah itu ditandatangani. Sony merogoh kocek dalam-dalam sebesar 1,05 miliar euro (sekitar Rp15 triliun waktu itu) untuk membeli seluruh saham milik Ericsson.
Pada Februari 2012, nama Sony Ericsson resmi dihapus dari peta industri dunia. Logo bola hijau Liquid Energy yang ikonik perlahan menghilang dari kemasan, digantikan logo "SONY" yang sederhana namun tegas. Nama perusahaan berubah menjadi Sony Mobile Communications.
![]() |
| Akhir era Sony Ericsson dan lahirnya Sony Mobile sebagai entitas tunggal. |
Era Sony Mobile: Inovasi Tapi Salah Strategi
Sony yang kini berdiri sendiri tanpa rem dari Ericsson langsung tancap gas. Mereka ingin mendefinisikan ulang apa itu smartphone premium.
Xperia Z: Mahakarya Desain Industri
![]() |
| Sony membuktikan desain industri bisa terasa mewah tanpa plastik murahan. |
Lahirlah seri Xperia Z pada tahun 2013—mahakarya desain industri. Saat Samsung masih asyik dengan body plastik yang terasa murah pada Galaxy S3 dan S4, Sony datang membawa konsep OmniBalance.
Sebuah lempengan kaca monolitik yang simetris, dilapisi kaca di depan dan belakang dengan tombol power aluminium khas di samping. Rasanya dingin, berat, dan sangat mewah di tangan.
Tapi inovasi terbesar yang dibawa Xperia Z bukanlah desainnya, melainkan ketahanannya. Sony melakukan sesuatu yang gila: membuat HP flagship yang tahan air.
Sebelum Xperia Z, HP tahan air itu bentuknya jelek, tebal, dan penuh karet pelindung seperti ban traktor. Sony membuktikan HP cantik pun bisa diajak berenang. Iklan-iklan Sony yang menampilkan orang memotret di kolam renang atau mencuci HP di wastafel membuat dunia terenganga.
Fitur ini kemudian menjadi standar industri yang hari ini kita nikmati di iPhone dan Samsung Galaxy. Sony lah pelopornya.
Tiga Kesalahan Fatal Sony Mobile
Namun di balik keindahan hardware tersebut, Sony Mobile menyimpan penyakit kronis yang menggerogoti mereka dari dalam.
Kesalahan Pertama: Siklus Rilis Terlalu Cepat
Sony merilis HP flagship setiap 6 bulan sekali. Xperia Z keluar awal tahun, Z1 keluar akhir tahun, Z2 keluar awal tahun depan, Z3 keluar akhir tahunnya lagi.
Ini adalah strategi bunuh diri. Konsumen yang baru beli Xperia Z1 dengan harga mahal tiba-tiba merasa HP-nya sudah kuno dalam 6 bulan karena Z2 sudah keluar. Harga jual kembali (resale value) HP Sony jatuh bebas. Konsumen marah dan merasa dikhianati.
Sementara Samsung dan Apple konsisten dengan siklus setahun sekali, membuat produk mereka terasa lebih eksklusif dan awet.
Kesalahan Kedua: Paradoks Kamera
Ini ironi terbesar dalam sejarah teknologi modern. Sony adalah pembuat sensor kamera terbaik di dunia. Sensor kamera di iPhone, Samsung Galaxy, Google Pixel—semuanya buatan Sony. Divisi sensor Sony untung besar.
Tapi anehnya, hasil foto HP Sony Xperia sendiri justru sering kalah bagus dibanding iPhone atau Samsung yang memakai sensor buatan Sony. Kenapa bisa begitu?
Ternyata ada perang saudara di dalam tubuh Sony sendiri. Divisi kamera profesional Sony Alpha takut kalau kamera HP Xperia terlalu bagus, orang tidak akan mau lagi beli kamera mirrorless atau kamera saku mereka.
Akibatnya, tim software kamera Xperia tidak diberikan akses penuh ke algoritma pemrosesan gambar terbaik milik Sony. Mereka disengaja disunat demi melindungi penjualan kamera. Ego sektoral ini membuat potensi kamera Xperia tidak pernah keluar maksimal selama bertahun-tahun.
Kesalahan Ketiga: Desain Keras Kepala
Ketika dunia mulai bergerak ke arah layar tanpa bingkai (bezelless), Sony tetap bertahan dengan desain dahi dan dagu yang tebal. Alasan mereka: untuk tempat speaker stereo ganda yang menghadap depan.
Alasan yang masuk akal bagi audiophile, tapi tidak menarik bagi pasar massal yang menginginkan layar penuh futuristik. HP Sony mulai terlihat kuno bersanding dengan Samsung Galaxy S8 atau iPhone X.
![]() |
| Xperia Z mempopulerkan konsep flagship tahan air yang kini jadi standar industri. |
Mundur dari Indonesia: Patah Hati Pecinta Xperia
Pasar kejam. Penjualan Sony Mobile terus merosot. Dari posisi lima besar dunia, mereka terlempar keluar dari 10 besar. Kerugian menumpuk setiap kuartal.
Sony Mobile menjadi anak sakit di dalam grup raksasa Sony yang sebenarnya sangat sehat di divisi lain—PlayStation dan sensor. Satu per satu, Sony mulai menarik diri dari berbagai negara untuk menghemat biaya operasional, termasuk dari Indonesia.
Bagi kita fans Sony di Indonesia, ini adalah momen patah hati. Tiba-tiba saja HP Sony resmi menghilang dari etalase Erafone dan toko-toko besar. Pusat servis resmi tutup.
![]() |
| Kepergian Sony dari Indonesia meninggalkan kekecewaan penggemar setia Xperia. |
Komunitas pecinta Xperia terpaksa membeli unit black market atau limbah Jepang (Docomo atau AU) yang sinyalnya sering bermasalah demi bisa tetap memegang merek kesayangan mereka.
Strategi Niche: Jadi Bangsawan yang Menyepi
Lantas apakah Sony Mobile mati seperti LG atau HTC? Tidak. Sony memilih jalan ninja—menjadi bangsawan yang menyepi.
Mereka sadar tidak mungkin lagi mengalahkan Samsung atau Apple dalam hal volume penjualan. Jadi mereka berhenti mencoba memuaskan semua orang. Mereka mengubah target pasar secara ekstrem.
Lihatlah Sony Xperia hari ini—seri Xperia 1 dan Xperia 5. Harganya sangat mahal, seringkali lebih mahal dari iPhone. Layarnya memanjang dengan rasio 21:9 bioskop. Fitur kameranya sangat rumit dengan antarmuka manual mirip kamera Alpha profesional.
Mereka masih mempertahankan lubang jack audio 3,5mm dan slot microSD ketika semua orang sudah membuangnya. Sony tidak lagi membuat HP untuk orang awam—mereka membuat HP untuk kreator, fotografer, videografer, dan audiophile garis keras.
Mereka puas dengan pangsa pasar yang sangat kecil (niche), asalkan profit marginnya tinggi dan bisa memuaskan segelintir penggemar setia yang fanatik.
![]() |
| Xperia kini bukan untuk semua orang, tapi untuk mereka yang tahu apa yang mereka butuhkan. |
Warisan yang Masih Hidup
Hari ini, warisan Sony Ericsson masih hidup dalam bentuk yang berbeda:
- Teknologi pemindai sidik jari di samping — itu warisan mereka
- Konsep HP tahan air — itu warisan mereka
- Mode manual pada kamera HP — itu juga warisan semangat mereka
Sony Ericsson mengajarkan kita bahwa memiliki teknologi terbaik saja tidak cukup. Anda bisa punya sensor kamera terbaik, layar terbaik, dan audio terbaik. Tapi jika strategi bisnis Anda membingungkan, siklus rilis Anda kacau, dan Anda gagal mendengarkan keinginan pasar massal—Anda akan tersingkir.
Pertanyaan yang Sering Diajukan
Kapan Sony Ericsson resmi bubar?
Sony Ericsson resmi dibubarkan pada Februari 2012 setelah Sony membeli seluruh saham Ericsson senilai 1,05 miliar euro pada Oktober 2011. Nama perusahaan berubah menjadi Sony Mobile Communications dan logo Liquid Energy yang ikonik perlahan menghilang dari produk-produk baru.
Mengapa Sony Ericsson gagal bersaing dengan iPhone dan Android?
Sony Ericsson gagal karena beberapa faktor kritis: fragmentasi sistem operasi Symbian UIQ yang tidak kompatibel dengan ekosistem Nokia, keterlambatan adopsi Android dengan versi yang ketinggalan zaman, dan strategi yang tidak fokus—mencoba Windows Mobile, Symbian, dan Android sekaligus dengan setengah hati. Mereka juga terlalu lambat update software dibanding kompetitor seperti Samsung.
Apa inovasi terbesar yang dibawa Sony Ericsson?
Sony Ericsson membawa beberapa inovasi penting: kamera HP dengan autofocus dan xenon flash (seri Cyber-shot), konsep HP sebagai pemutar musik berkualitas tinggi (seri Walkman), dan di era Sony Mobile, mereka adalah pionir smartphone flagship tahan air dengan Xperia Z yang kemudian menjadi standar industri.
Apakah Sony masih membuat smartphone sekarang?
Ya, Sony masih membuat smartphone dengan brand Xperia, tapi dengan strategi niche market. Mereka fokus pada segmen profesional—fotografer, videografer, dan audiophile—dengan harga premium dan fitur-fitur spesialis seperti kontrol kamera manual lengkap, layar rasio 21:9, jack audio 3,5mm, dan slot microSD yang sudah ditinggalkan brand lain.
Mengapa kamera Sony Xperia kalah dari iPhone padahal Sony pembuat sensornya?
Ini adalah paradoks terbesar Sony—meski mereka membuat sensor kamera terbaik dunia yang dipakai iPhone dan Samsung, hasil foto Xperia kalah karena perang saudara internal. Divisi kamera profesional Sony Alpha takut kamera HP terlalu bagus akan mengganggu penjualan kamera mirrorless mereka, sehingga tim software kamera Xperia tidak pernah diberi akses penuh ke algoritma pemrosesan gambar terbaik Sony.
Akibatnya, kamera Xperia sering kalah di sisi pemrosesan otomatis—warna kurang hidup, HDR kalah agresif, dan night mode tertinggal—padahal secara hardware mereka unggul. Sony memilih melindungi bisnis kamera daripada memaksimalkan potensi smartphone mereka sendiri. Sebuah keputusan korporat yang logis secara internal, tapi bunuh diri secara kompetisi pasar.
Kesimpulan: Legenda yang Gugur karena Strategi, Bukan Teknologi
Sony Ericsson bukan mati karena bodoh. Mereka mati karena salah membaca arah zaman dan terlalu lama terjebak dalam ego teknologi sendiri.
Mereka terlalu percaya kamera megapiksel dan kualitas audio cukup untuk memenangkan masa depan. Mereka meremehkan pentingnya ekosistem aplikasi, kecepatan update software, dan kesederhanaan pengalaman pengguna. Ketika dunia berlari ke arah internet mobile dan layanan berbasis aplikasi, Sony Ericsson masih sibuk memperdebatkan joystick, stylus, dan UI eksklusif.
Perceraian Sony dan Ericsson adalah akhir yang tak terhindarkan. Dua raksasa dengan DNA berbeda tidak bisa terus dipaksa berjalan seirama ketika arah bisnis mereka sudah berlawanan.
Hari ini, Sony masih hidup. Bukan sebagai raja pasar, tapi sebagai bangsawan tua yang keras kepala—memproduksi smartphone untuk segelintir orang yang benar-benar tahu apa yang mereka inginkan. Dan anehnya, itu justru membuat Sony tetap relevan, meski jauh dari sorotan.
Sony Ericsson mungkin sudah mati, tapi jejaknya masih ada di saku kita: kamera HP yang serius, musik mobile yang dihormati, dan keberanian untuk beda.
Dan jujur saja—industri smartphone sekarang terasa jauh lebih membosankan tanpa mereka.










Posting Komentar untuk "Sony Ericsson: Kisah Perceraian Raksasa Teknologi"
Posting Komentar