Kenapa Pentagon Takut Sama Huawei? Ini Alasannya

Pendahuluan

Gue yakin banyak yang taunya Huawei cuma sebagai merek HP China yang dulu sempat laris, terus tiba-tiba hilang dari pasaran Indonesia sekitar 2019-2020. Kalau kalian pikir ceritanya sesimpel itu, salah besar. Ini bukan soal persaingan bisnis biasa atau Samsung vs Apple versi China. Ini cerita tentang satu perusahaan yang bikin seluruh establishment keamanan Amerika—Pentagon, FBI, CIA—sampai ketar-ketir. Sampai-sampai negara sekuat Amerika harus mengubah undang-undang dan mengajak sekutu-sekutunya di Eropa buat memblokir akses teknologi global mereka.

Yang bikin ngeri itu bukan karena mereka jualan HP murah. Bukan juga karena kamera mereka bagus. Tapi karena Huawei pegang kunci dari infrastruktur internet global. Dan pas mereka "dibunuh" berkali-kali lewat sanksi ekonomi, bukannya mati, mereka malah bangkit jadi monster yang lebih menakutkan. Di tahun 2024, omset mereka hampir Rp800 triliun. Mereka kembali jadi HP nomor satu di China, ngalahin Vivo, Xiaomi, bahkan Apple.

Peta visualisasi jaringan infrastruktur telekomunikasi Huawei yang tersebar di seluruh dunia dengan market share 30 persen
Huawei menguasai sekitar 30% market share peralatan telekomunikasi global

Hukuman Mati yang Namanya Entity List

Di tahun 2019, Donald Trump mengeluarkan executive order yang memasukkan Huawei ke dalam "entity list". Buat yang belum paham, ini semacam daftar hitam perusahaan yang dilarang berbisnis dengan teknologi Amerika. Di dunia teknologi modern, ini sama dengan hukuman mati.

Kenapa gue bilang hukuman mati? Coba pikir: tidak ada satu pun perusahaan elektronik yang bisa hidup tanpa Amerika. Mau bikin HP? Butuh OS Android milik Google. Mau HP lebih pintar? Butuh chipset Intel, Qualcomm, atau Nvidia—semua Amerika. Bahkan kalau mau cetak chip sendiri di Taiwan, mesin cetaknya pakai teknologi Amerika juga.

Ada precedent-nya. Perusahaan China lain bernama ZTE kena sanksi serupa di 2018. Dalam hitungan minggu, mereka collapse total. Operasional berhenti. Akhirnya mereka harus ngemis ke Amerika, bayar denda triliunan rupiah, baru boleh buka lagi. Hidup sih, tapi merangkak.

Makanya masuk akal pas dunia mengira Huawei bakal bernasib sama. Penjualan HP mereka di luar China—termasuk Indonesia—langsung terjun bebas. Kalian yang dulu mau beli HP Huawei pasti mikir dua kali: kok nggak ada Google Play Store? Kok nggak bisa install Instagram dengan mudah? Mereka rugi sekitar 30 miliar dollar per tahun dari bisnis HP. Itu setara menghilangkan valuasi GoTo berkali-kali lipat.

Tapi Amerika Salah Perhitungan

Amerika kira Huawei itu perusahaan gadget. Padahal gadget cuma kulit luarnya. Monster sebenarnya ada di dalam: infrastruktur telekomunikasi.

Ini yang banyak orang nggak tahu. Huawei bukan saingan Samsung atau Apple. Di level fundamental, mereka saingannya Cisco, Ericsson, dan Nokia. Mereka menguasai infrastruktur telekomunikasi terbesar di dunia.

Analoginya gini: Apple jualan mobilnya (iPhone), Google jualan bensin atau petanya (Android). Huawei yang membangun jalan tolnya. Mereka pegang 30% market share peralatan telekomunikasi global—dari tower 4G dan 5G di Jerman, Inggris, Afrika, sampai Indonesia. Data menunjukkan sekitar 60-70% infrastruktur telekomunikasi Indonesia bergantung pada Huawei.

Infografis yang menunjukkan Huawei menguasai lebih dari 20 persen paten standar teknologi 5G global
Huawei memegang lebih dari 20% paten standar 5G global

Dalam urusan 5G, mereka pegang lebih dari 20% paten standar 5G di dunia. Artinya? Bahkan kalau Amerika membangun jaringan 5G pakai Nokia atau Ericsson, mereka tetap harus bayar royalti ke Huawei.

Ketakutan Terbesar: Espionase

Ketakutan terbesar Amerika itu soal mata-mata digital. Logika mereka sederhana tapi menakutkan: kalau Huawei pegang infrastruktur, Beijing bisa kapan saja menyadap data di seluruh dunia. Atau bahkan lebih ekstrem—mematikan internet negara lain.

To be fair, sampai sekarang Amerika belum pernah bisa memberikan bukti konkret kalau Huawei benar-benar menyadap. Tapi di dunia geopolitik, capability is enough to trigger fear. Tidak melakukan tapi bisa melakukan—itu sudah cukup menyeramkan.

Untuk memahami lebih jauh bagaimana ekosistem teknologi China berkembang di Indonesia, kalian bisa baca evolusi ekosistem Xiaomi di Indonesia yang juga menunjukkan strategi serupa dalam membangun loyalitas pasar lokal.

Wolf Culture: Mentalitas Perang Huawei

Pertanyaan besarnya: gimana caranya satu perusahaan bisa survive bahkan makin kuat setelah dihajar sanksi brutal seperti itu? Jawabannya bukan di teknologi semata. Ini soal mentalitas.

Founder Huawei, Ren Zhengfei, adalah mantan engineer militer China. Pas dia membangun perusahaan ini, dia menanamkan budaya kerja yang disebut "Wolf Culture"—agresif, berani mati, loyalitas tinggi. Ini bukan sekadar jargon motivasi kantor. Mereka benar-benar menjalankannya.

Bedanya Huawei dengan perusahaan teknologi lain yang kita kenal: Apple, Microsoft, Google—semuanya perusahaan publik yang harus laporan ke shareholder tiap kuartal. Huawei? Mereka perusahaan privat. Nggak ada tekanan profit jangka pendek. Mereka bisa investasi gila-gilaan di riset dan development tanpa harus menjelaskan ke Wall Street.

Huawei ngabisin sekitar 15-20% revenue mereka buat R&D setiap tahun. Itu ratusan triliun rupiah. Bukan buat iklan atau marketing, tapi buat riset murni. Mereka punya lebih dari 100,000 engineer yang fokusnya cuma satu: inovasi teknologi.

The Mate 60 Moment: Tamparan Keras buat Amerika

Ini klimaksnya. Akhir tahun 2023, Menteri Perdagangan AS, Gina Raimondo, lagi kunjungan ke China. Pas dia mendarat, Huawei tiba-tiba—tanpa woro-woro, tanpa event peluncuran besar—merilis HP baru: Mate 60 Pro.

Kalian mungkin mikir, "Emang apa istimewanya HP baru?" Dunia teknologi yang paham langsung shock berat. Karena pas HP itu dibongkar, di dalamnya ada chip Kirin 9000s—chip 7 nanometer buatan China (SMIC) yang didesain Huawei sendiri dan support 5G.

Close-up chip processor Kirin 9000s 7 nanometer buatan Huawei dan SMIC yang membuktikan China bisa produksi chip canggih tanpa teknologi Amerika
Chip Kirin 9000s membuktikan China bisa produksi chip canggih tanpa teknologi AS

Ini tamparan keras banget buat Amerika. Tujuan sanksi mereka kan menahan teknologi China supaya stuck di zaman batu, bergantung pada chip Qualcomm dan Snapdragon. Mereka pikir China cuma bisa bikin chip 14nm atau 28nm—teknologi lawas. Tapi Huawei membuktikan mereka bisa bikin chip canggih tanpa bantuan alat Amerika.

Integrasi Vertikal: Dipaksa Jadi Lebih Kuat

Ironinya, usaha Amerika membunuh Huawei justru memaksa mereka melakukan integrasi vertikal total:

  • Dulu: Beli chip dari Qualcomm → Sekarang: Bikin chip sendiri (Kirin)
  • Dulu: Pakai Android → Sekarang: Punya HarmonyOS yang mulai independen
  • Dulu: Pakai software design chip dari AS → Sekarang: Develop tool sendiri

Kenapa ini luar biasa? Karena Huawei jadi satu-satunya perusahaan di dunia yang punya ekosistem end-to-end lengkap: hardware, software, koneksi, PLUS infrastruktur tower dan cloud. Apple yang terkenal dengan ekosistemnya aja nggak punya infrastruktur tower.

Bikin ekosistem seperti ini susahnya luar biasa. Semua harus terintegrasi. Semua keputusan harus berbasis data yang solid. Kalau giant seperti Huawei aja melakukan ini, bisnis kecil juga harus mulai merapikan sistem, data, dan operasional mereka kalau mau main di game jangka panjang.

Huawei di Arena Baru: Mobil Listrik dan AI

Cerita nggak berhenti di smartphone dan 5G. Huawei sekarang merambah ke mobil listrik—tapi dengan strategi yang cerdas. Mereka nggak bikin pabrik mobil sendiri seperti Xiaomi. Mereka sadar bikin mobil marginnya tipis dan capek.

Strategi mereka: Huawei Inside. Analoginya kayak "Intel Inside" di laptop. Visi mereka: semua mobil listrik di China pakai sistem autonomous driving Huawei, smart cabin, sensor, dan lidar. Mereka jual teknologi ke pabrikan mobil seperti Seres, Chery, dan Changan.

Yang unik, menurut banyak review, kalau dibandingkan head-to-head dengan Tesla—yang mengklaim nomor satu di dunia—sistem autonomous driving Huawei bahkan lebih mulus di jalan-jalan China. Kenapa? Lagi-lagi karena infrastruktur. Mobil Huawei bisa "ngobrol" dengan lampu merah dan jalan pintar yang networknya juga dibangun oleh... yup, Huawei.

Visualisasi sistem autonomous driving Huawei Inside pada mobil listrik dengan sensor LiDAR dan koneksi smart city infrastructure
Teknologi Huawei Inside mengintegrasikan mobil dengan infrastruktur smart city

Indonesia di Tengah Perang Teknologi Global

Ini bukan sekadar cerita satu perusahaan lawan satu negara. Ini cerita pergeseran besar: perebutan arah teknologi dunia. Fenomena yang terjadi disebut technological decoupling.

Dunia mulai terpecah jadi dua standar: internet blok barat vs blok timur, chip blok barat vs blok timur, ekosistem teknologi yang berbeda. Dan Indonesia? Kita ada di tengah-tengah.

Infrastruktur telekomunikasi kita banyak pakai Huawei. Tapi gadget, software, dan kiblat bisnis kita masih banyak ke barat. Pertanyaannya: kita mau jadi penonton aja, atau ikut main?

Pelajaran buat Indonesia

Minimal ada dua hal yang harus kita adopsi dari mentalitas Huawei:

1. Berani investasi gila-gilaan di R&D
Bukan sekadar nebeng teknologi luar. Riset yang benar-benar original. Huawei bisa survive karena mereka udah investasi puluhan tahun di riset fundamental. Kita di Indonesia masih terlalu fokus jadi pasar konsumen, bukan produsen teknologi.

2. Mentalitas antifragile—berani mati
Wolf culture yang agresif itu bukan tentang toxic workplace. Ini soal ketahanan mental: pas ditimpuk masalah, jangan langsung nyerah. Justru cari cara jadi lebih kuat. Huawei diblokir dari Android? Bikin HarmonyOS. Nggak boleh beli chip? Bikin sendiri.

Di masa depan, pertarungan kekuasaan ada di ranah tech sovereignty. Negara mana yang bisa menaungi banyak perusahaan swasta untuk menjaga kedaulatan teknologi, dialah yang menang. Amerika sudah sadar. China sudah jalan duluan. Indonesia? Kita masih harus decide mau kemana.

Kenapa Amerika takut sama Huawei?

Amerika takut karena Huawei menguasai infrastruktur telekomunikasi global (30% market share) dan memegang lebih dari 20% paten 5G. Ketakutan utamanya adalah potensi espionase dan kemampuan China untuk menyadap atau bahkan mematikan jaringan komunikasi negara lain melalui peralatan Huawei.

Apa itu Wolf Culture di Huawei?

Wolf Culture adalah budaya kerja Huawei yang menekankan mentalitas agresif, berani mati, dan loyalitas tinggi. Didirikan oleh mantan engineer militer Ren Zhengfei, budaya ini membuat Huawei fokus pada inovasi jangka panjang dengan investasi R&D 15-20% dari revenue setiap tahunnya.

Apa itu Mate 60 Moment?

Mate 60 Moment adalah peluncuran Huawei Mate 60 Pro di akhir 2023 yang membuktikan China bisa memproduksi chip 7nm (Kirin 9000s) tanpa teknologi Amerika. Ini menjadi tamparan keras karena sanksi AS yang bertujuan menghambat kemajuan teknologi China ternyata tidak berhasil.

Bagaimana posisi Indonesia dalam perang teknologi ini?

Indonesia berada di tengah-tengah. Infrastruktur telekomunikasi kita 60-70% bergantung pada Huawei, tapi konsumsi gadget dan software masih condong ke barat. Di era technological decoupling ini, Indonesia harus memutuskan strategi tech sovereignty-nya untuk tidak hanya jadi pasar konsumen.

Kesimpulan

Huawei bukan sekadar perusahaan gadget China yang sempat booming terus hilang. Mereka adalah pemain infrastruktur global yang menguasai kunci internet dunia. Sanksi Amerika yang seharusnya membunuh mereka justru memaksa Huawei melakukan transformasi total—dari perusahaan yang bergantung pada teknologi barat menjadi ekosistem mandiri yang lengkap.

Dari chip, OS, sampai autonomous driving untuk mobil listrik—semuanya sekarang mereka bikin sendiri. Perubahan ini bukan cuma soal survival satu perusahaan, tapi simbol pergeseran kekuatan teknologi global dari barat ke timur.

Buat Indonesia, cerita Huawei adalah pengingat: di era tech sovereignty, kita nggak bisa cuma jadi penonton atau pasar konsumen. Investasi di R&D, membangun talenta lokal, dan keberanian mengambil risiko jangka panjang—itu yang harus kita pelajari. Karena siapa yang menguasai teknologi, dialah yang menguasai masa depan.

Posting Komentar untuk "Kenapa Pentagon Takut Sama Huawei? Ini Alasannya"