Samsung Tizen: Ambisi Membunuh Android yang Gagal di HP
Pendahuluan
Kalau ditanya vendor smartphone terbesar di dunia, pasti sebagian besar dari kita langsung jawab Samsung. Tapi tahukah kalian bahwa raksasa Korea ini pernah punya mimpi gila—membunuh Android dan membebaskan diri dari cengkeraman Google?
Cerita ini dimulai dari ketakutan Samsung yang mendalam. Bayangkan, kamu bikin hardware canggih dengan teknologi manufaktur terdepan, tapi nyawa produkmu bergantung 100% ke perusahaan lain. Suatu hari Google bisa ubah aturan main, naikin biaya lisensi, atau bahkan batasi akses ke layanan Google Play. Samsung hanya jadi tukang rakit mewah, sementara Google yang memegang kendali ekosistem dan data pengguna.
Ketakutan semacam ini sebenarnya bukan cuma dialami Samsung. Dalam skala yang jauh lebih ekstrem, kekhawatiran terhadap dominasi teknologi juga pernah membuat institusi sekelas pemerintah Amerika Serikat bereaksi keras. Bahkan Pentagon dan lembaga intelijen AS secara terbuka menganggap dominasi teknologi tertentu sebagai ancaman strategis, seperti yang terlihat dalam kasus ketakutan Pentagon terhadap Huawei. Intinya sama: siapa yang menguasai teknologi inti, dia yang memegang kendali.
Dari ketakutan inilah lahir sebuah proyek ambisius bernama Tizen—sebuah sistem operasi yang digadang-gadang bakal jadi "Google Killer" dan membebaskan Samsung dari ketergantungan. Tapi seperti yang sering terjadi di dunia teknologi, realita jauh lebih kejam dari mimpi indah di atas kertas.
![]() |
| Logo Tizen mencerminkan ambisi Samsung membangun sistem operasi mandiri berbasis Linux |
Awal Mula: Ketika Intel dan Samsung Sama-Sama Galau
Tahun 2011 adalah masa bergejolak buat dunia sistem operasi mobile. Nokia baru saja membuang proyek masa depan mereka, MeeGo, yang merupakan kolaborasi dengan Intel. Sebagai gantinya, Nokia malah pilih selingkuh dengan Microsoft Windows Phone—keputusan yang kita tahu berakhir tragis.
Intel yang ditinggal Nokia dalam keadaan bingung. Mereka punya chip bagus, punya dasar OS MeeGo berbasis Linux, tapi tidak punya partner untuk bikin smartphone. Di saat yang sama, Samsung lagi nyari jalan keluar dari dominasi Android.
Pertemuan dua raksasa galau ini melahirkan Tizen. Samsung mengambil sisa-sisa kode MeeGo, menggabungkannya dengan proyek internal mereka yang bernama LiMo (Linux Mobile), lalu menciptakan sistem operasi yang diklaim super ringan dan kencang.
Visi Samsung waktu itu sangat luas. Tizen bukan cuma untuk HP—mereka menyiapkannya untuk TV, jam tangan, kulkas, bahkan mobil. Mereka ingin menciptakan ekosistem raksasa di mana semua produk elektronik Samsung berbicara dalam satu bahasa: Tizen.
Samsung Z Series: Debut yang Setengah Hati
Setelah pengembangan bertahun-tahun, akhirnya di 2015 Samsung merilis HP Tizen pertama ke publik. Tapi anehnya, mereka tidak berani rilis di Amerika atau Eropa. Samsung sadar diri dan memilih pasar negara berkembang: India, Bangladesh, dan kemudian Indonesia.
Masih ingat iklan Samsung Z2 di TV Indonesia? "HP masih loading... HP boros baterai... HP masa gitu!" Iklan itu dengan berani menyindir pengguna Android murah yang sering lemot.
![]() |
| Samsung Z2 menargetkan segmen entry-level dengan harga sejutaan dan sistem operasi Tizen |
Samsung Z2 datang dengan harga sangat murah—sekitar sejutaan ke bawah. Bodinya plastik, layar kecil, tapi dijanjikan performa ngebut dan hemat kuota. Dan memang benar, Tizen sangat ringan. Karena berbasis Linux murni tanpa beban Google Services yang berat, HP spek kentang pun bisa jalan mulus. Booting cepat, buka menu responsif.
Samsung Z1 dan Z2 lumayan laku di India dengan jutaan unit terjual. Samsung merasa optimis. Mereka lanjut merilis Z3 dan Z4. Tapi kesuksesan awal itu ternyata semu—hanya hype sesaat karena harganya murah.
Mimpi Buruk Pengguna: Toko Aplikasi yang Gersang
Begitu pengguna mulai memakai HP Tizen sehari-hari, mereka baru sadar sedang berada di pulau terpencil. Buka Tizen Store, dan yang ditemukan adalah... kekosongan.
Bayangkan: kamu sudah beli Samsung Z2, pulang ke rumah, connect WiFi, terus buka Tizen Store dengan penuh harap. Kamu ketik "Instagram" di kolom pencarian. Hasilnya? Nihil. Atau mungkin muncul aplikasi pihak ketiga buatan developer antah-berantah dengan fitur cacat.
Cari Clash of Clans? Zonk. Cari LINE atau BBM (waktu itu masih zaman BBM)? Mungkin ada, tapi versi purba dengan fitur ketinggalan jauh dari versi Android.
Tizen Store ibarat mall megah dengan AC dingin dan lantai mengkilap, tapi semua tokonya tutup. Yang buka cuma toko kelontong kecil jualan barang KW.
Kenapa Developer Kompak Boikot Tizen?
Jawabannya sederhana: duit. Developer coding siang malam berharap untung. Bikin aplikasi butuh biaya, tenaga, dan waktu.
Kalau developer bikin aplikasi untuk Android, pasarnya ada miliaran manusia di seluruh dunia. Potensi cuan sangat besar. Kalau bikin untuk iOS, penggunanya rata-rata orang kaya yang rela bayar mahal untuk aplikasi premium.
Nah, kalau bikin untuk Tizen? Penggunanya rata-rata entry-level di India atau Indonesia yang beli HP murah. Mereka jarang beli item dalam game, jarang beli aplikasi berbayar. Jumlah penggunanya pun cuma beberapa juta—terlalu kecil untuk developer raksasa seperti Facebook, Supercell, atau Snapchat.
Biaya gaji programmer untuk develop versi Tizen tidak akan tertutup oleh revenue yang dihasilkan. Rugi bandar.
Usaha Putus Asa Samsung
Samsung sadar tanpa aplikasi, siapa yang mau beli HP mereka? Mereka pun melakukan segala cara:
1. Bayar Developer dengan Uang Tunai
Samsung bikin "Tizen Mobile App Incentive Program"—sayembara di mana developer yang bikin aplikasi dan masuk top 100 download akan dibayar $10,000 (sekitar Rp140 juta) setiap bulan. Samsung literally bakar duit jutaan dolar untuk mancing developer.
Hasilnya? Banyak developer iseng bikin aplikasi sampah cuma buat ngejar hadiah. Kualitas aplikasi tetap jelek. Aplikasi besar seperti Snapchat atau Google Maps tetap tidak mau masuk.
2. Emulator Android (ACL)
Samsung bikin fitur ACL (Application Compatibility Layer)—emulator agar aplikasi Android bisa jalan di Tizen. Idenya bagus: tidak perlu bikin aplikasi baru, pakai saja aplikasi Android yang sudah ada.
Tapi realitanya? Lemot parah. Aplikasi Android yang dipaksa jalan di Tizen jadi berat, sering crash, dan bikin baterai boros. HP Tizen yang tadinya dibanggakan karena ringan malah jadi super berat pas jalanin aplikasi lewat emulator. Iklan "HP masa gitu" malah jadi senjata makan tuan.
![]() |
| ACL dibuat agar aplikasi Android bisa berjalan di Tizen, namun berdampak buruk pada performa |
3. Perlakuan Setengah Hati Samsung Sendiri
Yang paling bikin sakit hati: Samsung sendiri setengah hati. Coba perhatikan—pernah tidak Samsung merilis Tizen di HP flagship mereka? Pernah tidak ada Samsung Galaxy S atau Note versi Tizen?
Tidak pernah. Galaxy S, Note, seri A, seri M—semuanya tetap pakai Android. Samsung cuma berani taruh Tizen di HP murah seri Z. Ini bikin konsumen mikir: kalau Samsung saja tidak percaya Tizen buat HP mahalnya, kenapa kita harus percaya?
Samsung menjadikan pengguna Z1, Z2, Z4 sebagai kelinci percobaan. Persaingan dengan vendor Tiongkok seperti Xiaomi yang agresif di pasar entry-level membuat posisi Samsung Z Series makin terjepit.
Lingkaran Setan yang Tidak Terputus
Tizen di HP terjebak dalam lingkaran setan klasik:
- Orang tidak mau beli HP Tizen karena aplikasinya sedikit
- Developer tidak mau bikin aplikasi karena yang beli HP-nya sedikit
- Muter terus sampai kiamat
Di tahun 2017, Samsung merilis Samsung Z4—napas terakhir seri Z. Penjualannya makin merosot. Di India, orang beralih ke Xiaomi Redmi yang pakai Android murah tapi lengkap. Di Indonesia, orang pilih Samsung J series atau merek Tiongkok lainnya.
Tizen di smartphone resmi gagal total. Samsung Z series disuntik mati. Investasi miliaran dolar sepertinya hangus begitu saja.
Plot Twist: Kebangkitan Tizen di Ruang Tamu
Tapi cerita tidak berhenti di sini. Samsung melihat celah lain: kalau Tizen tidak laku di saku celana, mungkin dia bisa laku di tempat lain yang layarnya jauh lebih besar—atau melingkar di pergelangan tangan.
![]() |
| Tizen sukses besar sebagai sistem operasi Smart TV Samsung di pasar global |
Para petinggi Samsung sadar satu hal: Tizen punya kelebihan yang Android tidak punya. Tizen ringan, cepat, dan yang paling penting—milik sendiri. Samsung berpikir: orang butuh jutaan aplikasi di HP, tapi apakah orang butuh jutaan aplikasi di kulkas, TV, atau mesin cuci?
Jawabannya: tidak.
Dominasi di Smart TV
Samsung mencabut Tizen dari HP dan menanamnya ke dalam smart TV. Keputusan ini ternyata jenius. Di dunia smart TV, orang tidak butuh Snapchat, Gojek, atau Mobile Legends. Orang cuma butuh Netflix, YouTube, Disney+, dan perpindahan menu yang responsif.
Android TV waktu itu terkenal berat dan butuh spek tinggi. Sedangkan Tizen, karena sangat ringan, bisa jalan mulus bahkan di TV Samsung yang murah sekalipun. Nyalain TV cuma butuh 1-2 detik, pindah aplikasi smooth tanpa lag.
Karena Samsung adalah penjual TV nomor satu di dunia selama belasan tahun berturut-turut, otomatis Tizen menjadi OS TV nomor satu di dunia—mengalahkan Android TV dan webOS milik LG. Tanpa gembar-gembor, Tizen diam-diam memenangkan perang di ruang keluarga.
Sempat Berjaya di Smartwatch
Sukses di TV, Samsung makin percaya diri. Mereka bawa Tizen ke pergelangan tangan. Samsung Galaxy Watch generasi awal—Gear S2, S3, Galaxy Watch 3—semuanya pakai Tizen.
Di jam tangan, Tizen sempat berjaya. Baterainya jauh lebih awet daripada smartwatch pakai Wear OS (OS Google). Antarmuka dengan rotating bezel yang iconic sangat smooth berkat Tizen.
Tapi penyakit lama kambuh lagi: aplikasi. Orang mulai nanya kenapa tidak ada Google Maps yang proper? Kenapa Spotify-nya terbatas? Akhirnya demi ekosistem aplikasi yang lebih luas, di Galaxy Watch 4, Samsung dengan berat hati menyerah dan balik pakai Wear OS.
Tizen di jam tangan pun akhirnya pensiun.
![]() |
| Tizen sempat berjaya di smartwatch Samsung berkat efisiensi dan daya tahan baterai |
Rumah Abadi: Internet of Things (IoT)
Tapi Tizen menemukan rumah abadinya di tempat yang paling tidak terduga: IoT (Internet of Things).
Coba kalian main ke rumah orang kaya yang isi dapurnya Samsung semua. Lihat kulkas Samsung Family Hub dengan layar besar di pintu—otaknya Tizen. Mesin cuci pintar yang bisa dikontrol lewat HP—microcontroller-nya jalan di atas Tizen RT (Real-Time). AC pintar, robot vacuum cleaner—semuanya Tizen.
Kenapa? Karena Samsung butuh sistem yang aman dan bisa mereka kontrol 100% tanpa campur tangan Google. Mereka tidak mau Google tahu isi kulkas kalian atau kebiasaan mencuci baju kalian. Data itu untuk Samsung sendiri—untuk ekosistem SmartThings mereka.
![]() |
| Tizen menjadi fondasi ekosistem IoT Samsung melalui perangkat seperti Family Hub |
Pelajaran dari Kisah Tizen
Tizen mengajarkan kita bahwa gagal itu relatif. Dia gagal jadi OS smartphone karena tidak punya ekosistem aplikasi, tapi sukses jadi OS TV karena ringan, cepat, dan tidak butuh ribuan aplikasi.
Samsung berhasil menyelamatkan investasi triliunan mereka dengan cara mengubah medan perang. Mereka tidak keras kepala memaksakan Tizen di smartphone, tapi pivot ke area di mana kelebihan Tizen benar-benar bersinar.
Hari ini Tizen masih hidup dan sehat walafiat. Mungkin dia tidak ada di saku kalian, tapi dia mungkin sedang menatap kalian dari layar TV Samsung 65 inci di depan sofa, atau menjaga makanan kalian tetap dingin di dapur.
Dia adalah the silent guardian dari ekosistem Samsung—sebuah sistem operasi yang gagal di medan perang yang salah, tapi menang telak di medan perang yang tepat.
FAQ tentang Samsung Tizen
Apa itu Samsung Tizen?
Tizen adalah sistem operasi berbasis Linux yang dikembangkan oleh Samsung dan Intel. Awalnya ditujukan untuk smartphone, tapi sekarang lebih sukses di smart TV, perangkat IoT, dan smartwatch Samsung.
Kenapa Samsung Tizen gagal di smartphone?
Tizen gagal di smartphone karena minimnya ekosistem aplikasi. Developer tidak tertarik membuat aplikasi untuk Tizen karena basis pengguna yang kecil dan potensi revenue yang rendah. Ini menciptakan lingkaran setan: tanpa aplikasi, tidak ada pengguna; tanpa pengguna, tidak ada developer yang mau bikin aplikasi.
Apakah Tizen masih digunakan di produk Samsung?
Ya, Tizen masih aktif digunakan di smart TV Samsung (market leader global), kulkas pintar Family Hub, dan berbagai perangkat IoT Samsung lainnya. Namun untuk smartwatch, Samsung sudah beralih ke Wear OS sejak Galaxy Watch 4.
Apa keunggulan Tizen dibanding Android?
Keunggulan utama Tizen adalah performa yang sangat ringan dan efisien karena berbasis Linux murni tanpa overhead Google Services. Ini membuatnya ideal untuk perangkat dengan spesifikasi terbatas seperti smart TV dan IoT. Samsung juga punya kontrol penuh terhadap sistem dan data pengguna.
Bisakah saya membeli smartphone Tizen sekarang?
Tidak. Samsung sudah menghentikan produksi smartphone Tizen sejak 2017. Samsung Z4 adalah model terakhir yang dirilis. Semua smartphone Samsung saat ini menggunakan Android sebagai sistem operasi.
Kesimpulan
Kisah Tizen adalah pengingat bahwa di dunia teknologi, timing dan konteks adalah segalanya. Sebuah produk yang gagal di satu area bisa jadi juara di area lain. Samsung menunjukkan bahwa perusahaan besar pun bisa pivot dengan elegan ketika menghadapi kegagalan—tidak keras kepala mempertahankan strategi yang salah.
Bagi kita yang pernah "khilaf" membeli Samsung Z2 dulu, setidaknya sekarang kita bisa tersenyum pahit sambil nonton Netflix di smart TV Samsung dengan bangga mengatakan: "Dulu gue pernah jadi early adopter Tizen, lho. Cuma salah medan aja."
Dan siapa tahu, suatu hari nanti Samsung akan kembali mencoba membawa Tizen ke dunia mobile—mungkin dengan strategi yang berbeda, mungkin dengan timing yang lebih tepat. Tapi untuk saat ini, Tizen tetap menjadi raja yang diam-diam berkuasa di ruang tamu jutaan rumah di seluruh dunia.






Posting Komentar untuk "Samsung Tizen: Ambisi Membunuh Android yang Gagal di HP"
Posting Komentar