Internet Rakyat 100 Ribu: Scam atau Bakal Bunuh Telkomsel?

Pendahuluan

Pas pertama kali dengar ada internet 100 Mbps dijual cuma Rp100 ribu per bulan, reaksi gue sama kayak lo semua: ini pasti gimmick politik. Atau paling nggak cuma trik marketing buat bakar duit di awal, terus beberapa bulan kemudian naik harga atau gulung tikar.

Soalnya kita udah terlalu sering dikecewakan sama provider internet di Indonesia. Harga mahal, speed lemot, customer service yang bikin emosi—dan sekarang Indonesia masuk 12 besar negara dengan internet termahal di Asia. Makanya cuma satu dari lima rumah tangga yang punya internet kabel. Sisanya? Masih ngandalin kuota HP yang mahal banget.

Tapi setelah gue bedah lebih dalam soal Internet Rakyat dan perusahaan di belakangnya—PT Solusi Sinergi Digital (Surge)—ternyata ada sesuatu yang beda. Ini bukan cuma kampanye kosong. Ada strategi bisnis yang legitimate, modal gede, teknologi unik, dan potensi disrupsi yang nyata.

Yang bikin gue tertarik: ini mirip banget sama apa yang dilakuin Reliance Jio di India tahun 2016. Dan kita tahu akhirnya gimana—kompetitor pada gulung tikar, tarif internet anjlok 80%, dan Jio jadi market leader dengan 400 juta pengguna dalam 4 tahun.

Jadi pertanyaannya sekarang: apakah Internet Rakyat bakal jadi "Jio versi Indonesia" yang bikin provider kayak Telkomsel, IndiHome, atau Biznet ketar-ketir? Atau ini cuma janji manis yang ujung-ujungnya mengecewakan?

Perbandingan harga paket Internet Rakyat Surge 100 Mbps Rp100 ribu dengan IndiHome, Biznet, dan First Media yang jauh lebih mahal
Klaim harga Internet Rakyat memang terdengar mustahil, tapi justru di sinilah sumber disrupsi dimulai

Siapa di Balik Internet Rakyat?

Sebelum bahas produknya, kita perlu tahu dulu siapa yang nekad bikin klaim bombastis ini. Perusahaannya bernama PT Solusi Sinergi Digital Tbk, atau yang di bursa saham pakai kode WIFI. Kalau lo investor saham, pasti kenal—saham ini sempet naik gede-gedean akhir-akhir ini.

Yang bikin mereka beda dari startup biasa:

  • Modal gede: Mereka baru dapet investasi sekitar 4 triliun rupiah dari perusahaan Jepang (NTT). Total modal mereka sekitar 9,8 triliun.
  • Backing kuat: Di belakangnya ada Grup Arsari, milik Hashim Djojohadikusumo (adik Presiden Prabowo), yang pegang saham sekitar 22,5%.
  • Bukan pemain baru: Mereka udah punya sejarah bangun backbone fiber, jalanin bisnis digital out-of-home di kereta, dan telekomunikasi—jauh sebelum masuk ke internet rumahan.

Jadi ini bukan startup modal nekat yang cuma punya PowerPoint bagus. Mereka punya aset, koneksi, dan pengalaman infrastruktur yang solid.

Kenapa Harga Internet di Indonesia Mahal?

Sebelum ngebahas gimana Internet Rakyat bisa jual murah, kita harus paham dulu kenapa tagihan internet kita selama ini mahal. Masalahnya ada di yang namanya "last mile cost"—biaya terakhir untuk nyambungin internet dari jalan raya ke rumah lo.

Bayangin internet itu kayak sistem air PDAM. Pipa gede dari waduk ke pinggir kota itu murah, karena satu pipa bisa melayani jutaan orang. Tapi masalahnya: gimana caranya nyambungin pipa gede itu dari jalan raya, masuk ke gang sempit, bobok tembok, sampai ke keran kamar mandi lo?

Inilah yang disebut "last mile"—dan di sinilah uang kebakar habis-habisan.

Buat narik kabel fiber optik dari jalan raya, gali tanah, bobok tembok, sampai masuk ke rumah lo, provider harus keluar duit sekitar Rp1,5–2 juta per rumah. Kalau lo bayar Rp300 ribu per bulan, artinya butuh 6–7 bulan cuma buat balik modal kabelnya aja—belum termasuk biaya operasional, maintenance, CS, dan lain-lain.

Makanya wajar kalau harga internet kabel di Indonesia mahal. Tapi Surge punya cara untuk nge-hack biaya ini.

Ilustrasi biaya last mile internet yang mahal akibat penarikan kabel fiber dari jalan utama ke rumah pelanggan
Last mile adalah titik paling mahal dalam bisnis internet, dan alasan utama kenapa harga internet Indonesia tinggi

Rahasia Internet Rakyat: The Last Mile Hack

Gimana caranya Surge bisa jual internet 100 Mbps cuma Rp100 ribu? Jawabannya ada di dua strategi gila ini:

1. Fixed Wireless Access (FWA) dengan Frekuensi 1,4 GHz

Surge nggak narik kabel fiber ke rumah lo. Mereka pakai teknologi FWA (Fixed Wireless Access)—jadi dari "pipa gede" tadi, mereka pasang beberapa tower pemancar di tengah kampung, terus nembak sinyal 1,4 GHz langsung ke ratusan rumah sekaligus.

Biaya galian? Nol. Izin ormas? Hilang. Mereka bisa menghemat 75% biaya infrastruktur dibanding provider yang masih narik kabel.

Tapi kenapa pakai frekuensi 1,4 GHz? Ini yang penting:

Frekuensi 1,4 GHz itu kayak tanah luas di pinggiran kota—harganya lebih murah dari frekuensi premium (kayak 2,3 GHz atau 3,5 GHz), tapi punya satu keunggulan fisik yang unik: daya tembus temboknya lebih kuat.

Lo pernah kan pasang WiFi di tengah rumah, tapi sinyal di kamar ujung lemot karena ketutup beton? Nah, frekuensi 1,4 GHz ini bisa nembus tembok-tembok rumah lebih baik, jadi lebih cocok buat wireless broadband di area padat penduduk.

Surge menang lelang frekuensi 1,4 GHz dari pemerintah di bulan Oktober 2024, dengan nilai tebusan Rp403 miliar. Mereka dapet hak eksklusif di Region 1: Jawa, Papua, dan Maluku—yang nyumbang sekitar 60% populasi Indonesia.

Buat info lebih lengkap soal jadwal dan wilayah peluncuran Internet Rakyat, lo bisa cek di sini.

2. Railway Backbone: Jalan Tol Eksklusif di Rel Kereta

Ini bagian yang paling genius. Surge punya hak eksklusif buat nanem kabel serat optik di sepanjang rel kereta api Pulau Jawa. Dari akhir 2019, mereka udah kerja bareng PT KAI dan bangun fiber sepanjang 3.600 km. Bahkan kabel ini disewa sama XL dan beberapa provider lain.

Ilustrasi backbone fiber optik PT Solusi Sinergi Digital yang dipasang di sepanjang rel kereta api Pulau Jawa
Jalur rel kereta memberi Surge backbone eksklusif yang efisien, aman, dan minim gangguan

Kenapa rel kereta itu unfair advantage?

  • Tanah negara, steril dari gangguan: Nggak ada tukang galian selokan yang nggak sengaja putus kabel.
  • Jalur terpendek antar kota: Kereta kan jalannya lurus, jadi kabelnya juga pendek. Latency lebih rendah.
  • Nggak perlu pungli: Di Indonesia, biasanya kalau mau pasang infrastruktur harus "setor" sana-sini. Ini nggak perlu.

Jadi kombinasinya begini: Surge punya jalan tol sendiri (backbone di rel kereta) dan jalan tikus murah (wireless pakai 1,4 GHz). Inilah yang bikin hitungan bisnis Rp100 ribu masuk akal.

Strategi Bisnis: Main Volume, Bukan Margin

Kalau lo mikir strategi ini terlalu gila, salah. Ini pernah terjadi persis di India tahun 2016.

Ceritanya sama kayak Indonesia—waktu itu internet India mahal. Terus datanglah Mukesh Ambani, konglomerat terkaya India, lewat perusahaannya Reliance Jio. Dia bangun infrastruktur 4G gila-gilaan, terus kasih internet gratis selama 6 bulan. Habis gratis, bayarnya murah banget.

Kompetitor lain ketawa-ketawa bilang Jio bakal bangkrut. Tapi 5 tahun kemudian? Kompetitor berdarah-darah. Vodafone India sampai harus merger sama Idea cuma buat survive. Banyak yang gulung tikar. Jio jadi market leader nomor satu dengan 400 juta user dalam 4 tahun. Tarif internet anjlok 80%.

Surge dan Internet Rakyat main playbook yang sama: price war. Mereka nggak ngincer margin tebal dari satu user kayak IndiHome. Mereka ngincer akuisisi jutaan user secepat mungkin, bikin kompetitor panik, dan distrupt pasar lewat harga.

Dan enaknya? Kalau mereka sukses, yang menang konsumen. Kita dapet harga paling murah, speed paling kencang.

Perbandingan strategi bisnis Reliance Jio di India dengan Internet Rakyat Surge di Indonesia yang sama-sama menekan harga internet
Reliance Jio berhasil menghancurkan pasar lewat harga, dan Internet Rakyat memakai playbook yang mirip

Siapa Target Pasarnya?

Gue mungkin bukan target market Internet Rakyat. Dan ini yang bikin strategi mereka blue ocean, bukan red ocean.

Ingat data tadi: 80% rumah tangga di Indonesia belum punya internet kabel. Selama ini mereka ngandelin apa? Kuota ketengan HP. Dan itu mahal banget.

Ini 80% populasi yang nggak butuh ping 5 ms buat main Valorant kompetitif. Mereka butuh tiga hal sederhana:

  1. YouTube nonton nggak nge-buffer
  2. Video call sama keluarga lancar
  3. Murah dan unlimited

Surge masuk ke pasar yang ditinggalin provider besar. Sementara Telkomsel, IndiHome, Biznet, dan First Media rebutan kue kecil di perumahan elit, Surge bisa ambil kue raksasa di second-tier city, kabupaten, dan desa.

Bagi mereka, internet Rp100 ribu unlimited itu revolusi. Dan bodo amat kalau ping goyang dikit—yang penting nggak perlu mikirin kuota habis lagi.

Catch-nya di Mana?

Tentu aja nggak ada yang sempurna. Teknologi FWA punya satu kelemahan fatal dibanding kabel fiber optik: konsistensi.

Kabel fiber itu dedicated—pipa lo ya pipa lo. Tapi wireless itu shared. Walaupun speed-nya sama, bandwidth-nya dibagi.

Bayangin lo di jalan tol jam 5 sore—macet total karena semua orang pulang kerja. Internet Rakyat kemungkinan bisa kayak gitu di jam prime time. Soalnya kalau lo baca klaimnya: "100 Mbps up to". Pas semua tetangga lo pulang kerja nyalain Netflix, speed bisa turun drastis.

Belum lagi faktor cuaca: hujan, angin, badai bisa bikin jitter atau ping loncat-loncat. Kalau fiber optik nggak mikirin itu, karena semuanya di bawah tanah.

Jadi pasar elite—trader saham yang telat 1 detik bisa rugi, gamer kompetitif yang butuh ping stabil, orang WFH yang meeting nggak boleh putus-putus—kemungkinan nggak bakal pindah. Stabilitas itu mahal harganya, dan buat banyak orang nggak worth it cuma hemat Rp150 ribu.

Kalau lo penasaran gimana cara optimasi sinyal FWA biar lebih stabil, ada beberapa trik yang bisa dicoba.

Perbandingan internet FWA wireless dengan fiber optik dari sisi harga, stabilitas, dan performa jaringan
FWA unggul di harga dan kecepatan instalasi, tapi fiber optik masih raja dalam stabilitas koneksi

Apakah Ini Ancaman Nyata buat Provider Lama?

Secara teori: iya. Tapi kuncinya ada di eksekusi.

Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab:

  • Apakah benar 100 Mbps bisa dicapai secara konsisten?
  • Apakah benar sinyal bisa tembus tembok dengan baik?
  • Apakah stabil pas hujan?
  • Gimana kualitas customer service mereka?

Soalnya beda loh nge-handle ratusan ribu pelanggan di perumahan elit (yang jumlahnya dikit dan bersabar) dengan jutaan pelanggan di masyarakat ekonomi menengah-bawah yang bayar lebih murah tapi bisa jadi lebih rewel.

IndiHome sekarang pegang 67% market share di internet rumah (fixed broadband). Mereka udah punya basis pelanggan gede, infrastruktur mapan, dan brand awareness kuat. Tapi kalau Surge berhasil eksekusi dengan baik—dan nggak kena campur tangan politik atau masalah regulasi—bisa jadi provider lama ketar-ketir.

Yang pasti, ini perang harga yang ujung-ujungnya menguntungkan konsumen. Bahkan kalau Surge nggak jadi market leader, tekanan harga dari mereka bakal bikin Telkomsel, IndiHome, dan lainnya turunin harga atau upgrade layanan.

FAQ tentang Internet Rakyat

Apakah Internet Rakyat benar-benar Rp100 ribu per bulan?

Ya, klaim resmi dari Surge adalah paket 100 Mbps dengan harga Rp100 ribu per bulan. Namun ini adalah harga promosi awal dan bisa berubah tergantung wilayah atau strategi bisnis ke depan.

Apa bedanya Internet Rakyat dengan IndiHome atau Biznet?

Internet Rakyat menggunakan teknologi FWA (wireless), bukan kabel fiber optik. Ini membuat biaya instalasi lebih murah, tapi stabilitas bisa lebih rentan terhadap cuaca dan kepadatan pengguna.

Apakah Internet Rakyat cocok untuk gaming atau WFH?

Untuk casual gaming dan WFH ringan, kemungkinan cukup. Tapi untuk gaming kompetitif atau pekerjaan yang butuh koneksi super stabil (trading, live streaming), fiber optik masih lebih direkomendasikan.

Kapan Internet Rakyat bisa dipasang?

Peluncuran bertahap dimulai dari Region 1 (Jawa, Papua, Maluku) pada awal 2025. Namun jadwal pasti tergantung wilayah dan kesiapan infrastruktur masing-masing daerah.

Apakah Surge bakal bangkrut seperti startup lain?

Berbeda dengan startup modal nekat, Surge punya modal 9,8 triliun, backing dari Grup Arsari dan NTT Jepang, serta aset infrastruktur riil (backbone fiber di rel kereta). Secara modal dan strategi, mereka punya fondasi kuat untuk bertahan dalam price war.

Kesimpulan: Scam atau Game Changer?

Setelah bedah habis-habisan, kesimpulan gue: secara teori bisnis dan planning, ini genius. Surge punya modal kuat, strategi yang jelas, teknologi yang unik, dan timing yang tepat.

Tapi seperti semua disrupsi besar, kuncinya ada di eksekusi. Kalau mereka bisa deliver sesuai janji—speed stabil, coverage luas, CS responsif, dan harga tetap murah—ini bisa jadi game changer buat industri internet Indonesia.

Dan bahkan kalau mereka nggak jadi market leader, kehadiran mereka aja udah cukup buat bikin provider lama nervous dan dipaksa kasih harga lebih kompetitif. Ujung-ujungnya yang untung tetap konsumen.

Jadi apakah lo harus langsung pindah ke Internet Rakyat? Tunggu dulu. Lihat review pengguna awal, cek stabilitas di wilayah lo, dan bandingkan dengan kebutuhan lo.

Kalau lo casual user yang penting murah dan cukup kencang—ini bisa jadi solusi terbaik. Tapi kalau lo butuh koneksi super stabil untuk hal-hal kritis, mungkin lebih baik tetap pakai fiber optik dulu.

Satu yang pasti: industri internet Indonesia lagi ada di titik perubahan. Dan kita semua berharap perubahan ini nggak cuma janji kosong.

Posting Komentar untuk "Internet Rakyat 100 Ribu: Scam atau Bakal Bunuh Telkomsel?"